Bersegera
dan Bergegas Dalam Kebaikan
Mengapa harus bersegera
? urusan minta ampun terhadap dosa dan bertaubat bukannya bisa nanti-nanti saja
kalau sudah selesai pekerjaan, jika anak-anak sudah menamatkan kuliahnya dan
sudah bekerja, ketika disaat tidak ada kesibukan atau kondisi sudah mapan dan
keuangan setabil, dikala kondisi keluarga sudah sempurna ? Pernyataan seperti
ini sering kali menjadi alasan kita menunda-nunda untuk segera meraih ampuna
dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Bisa jadi karena keimanan kita
dalam kondisi lemah sehingga kurang meyakini bahwa janji Allah itu benar adanya
dan ampunan Allah itu adalah sebuah balasan yang nilainya jauh lebih berharga
dari pada dunia dan siisinya.
Mengutip
surat Ali Imran ayat 133 yang artinya :
“Dan bersegeralah menuju ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas
langit dan bumi, yang disediakan bagi orang yang bertaqwa”.
Sering kali kita
mengabaikan hal-hal yang secara hakiki lebih penting dan terjebak oleh
kenikmatan duniawi yang cenderung menghijab antara pandangan kita dengan hikmah
dibalik perintah Allah SWT. Makanya kata “bersegeralah”
itu merupakan sebuah kata yang Allah tekankan kepada hambanya, agar selekas
dari melakukan ketaatan dan berbagai kebajigan akan memghantarkan kepada
ampunandan surga.
Serua untuk bersegera
dalam kebaikan juga disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya yang
berbunyi: Dari Abu Hurairah RA bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “Bergegaslah dalam setiap perbuatan karena
akan datang tujuh kejadian. Tidak kamu semua menunggunya melainkan akan datang:
kefakiran yang membuat kamu dilupakan atau kekayaan yang menyesatkan, sakit
yang membinasakan, kematian yang siap menjemput, dajjal yang datang dengan
kejengkelan terselubung yang selalu menunggu, atau hari kiamat yang dahsyat
yang memilukan”.
Agama Islam adalah
agama gerak, agama kerja, dan agama aktif. Islam tidak menghendaki para
pemeluknya menjadi umat yang lemah, rendah diri, dan menganggur. Dalam spirit
Islam, kerja keras demikian terhormat, kerja cepat sangat diapresiasi, dan
pasifisme ditolak serta ditentang. Oleh karenanya, Rasulullah sering kali
mengingatkan umatnya agar tidak menyia-nyiakan waktu luang yang sering kali tidak
banyak disadari bahwa waktu tersebut sangat berharga.
Kekosongan yang tidak
diisi kebaikan akan terisi oleh keburukan dan kesempatan yang tidak diambil
akan segara lepas dari tangan. Allah SWT memberi panduan agar setiap kita telah
usai menunaikan satuaktivitas, maka waktu yang kosong hendaknya diisi dengan
aktivitas aktivitas lain yang berdaya guna. “Maka,
apabila kamu telah selesai ( dari suatu urusan ), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh ( urusan ) yang lain”( QS.Al-Insyirah : 7 ).
Kemajuan dan kemunduran
seseorang dan bahkan sebuah bangsa sangat tergantung pada kesiapan mereka dalam
menyegerakan pekerjaan dan aktivitas produktifnya.
Semakin lamban mereka menyelesaikan masalah-masalahnya maka semakin lambat pula
majunya, semakin cepat mereka mengelola aktivitasnya maka kemajuan akan datang
di depan mata. Pekerjaan yang bisa kita lakukan di pagi hari tidak selayaknya
kita tunda hingga sore hari, dan yang bisa kita tuntaskan di siang hari sangat
naif bila kita berfikir untuk menyelesaikan nya di malam hari. Jalankan
aktivitas hari ini dengan sebaik-baiknya kerena kita ditentukan oleh hasilkerja
kita di hari ini. “Barang siapa yang suka
melambat-lambatkan pekerjaannya maka tidak akan dipercepat hartanya”( HR
Muslim ).
Yang dikhawatirkan
adalah, apakah ada jaminan bahwa waktu yang kita alokasikan untuk mengerjaka
apa yang kita tunda akan sampai kepada kita? Apakah ada jaminan bahwa besok
Allah SWT belum memanggil kita? Apakah ada jaminan kita akan tetap sehat, punya
waktu luang, dan bisa mengerjakan kebaikan-kebaikan yang sesungguhnya bisa kita
segerakan saat ini ?
Agar kita tidak celaka
saat dihisab, kita harus membagi waktu sesuai arahan Rasulullah SAW. Dalam bab
Al Muraqabah dan Al Muhasabah kitab Kanzul Umal disebutkan, “Orang yang berakal hendaknya membagi
waktunya menjadi empat. Waktu untuk bermunajatkepada Rabb-nya, waktu untuk
melakukan muhasabah ( instropeksi ), waktu untuk merenungi ciptaan Allah SWT,
serta waktu untuk keperluan makan dan minum”.
Berdasarkan hadist
tersebut, setiap muslim yang ingin menyiapkan dirinya menghadapi hisab, wajib
membagi waktunya dalam empat hal. Pertama, waktu untuk bermunajat. Saat
munajat, kita harus senantiasa meneliti kembali apakah yang kita lakukan ikhlas
karena Allah SWT atau tidak.
Kedua, waktu untuk
muhasabah. Setiap selesai berbuat sesuatu atau minimal saat menjelang tidur,
sebaiknya kita melakukan muhasabah. Apakah kita sudah sudah melakukan semua
kewajiban? Apakah pelaksanaan kewajiban itu sudah sempurna sesuai syarat dan
rukunnya? Apakah semua pekerjaan dan amal ibadah kita dilakukan dengan ikhlas?
Ketiga, waktu untuk
merenungi semua ciptaan Allah SWT. Renungan ini sangat diperlukan untuk
meningkatkan keimanan kita, dengan memikirkan dan merenungi diri dan semua
ciptaan Allah SWT, kita akan lebih mengetahui kekuasaan Allah SWT dan
keagungannya.
Keempat, waktu untuk
memenuhi kebutuhan duniawi seperti untuk mencari nafkah, makan, minum, dan
mengurusi keluarga. Kita adalah makhluk yang terdiri atas unsur materi dan
rohani dengan komposisi yang seimbang. Unsur rohani memerlukan makanan dari apa
yang diturunkan Allah SWT berupa
agamanya. Sedangkan unsur materi berasal dari tanah, air, juga udara, maka ia
memerlukan makanan dan minuman yang semuanya berasal dari sari pati tanah.
Muslim yang hakiki
hendaknya membagi waktunya secara proporsional untuk empat hal tersebut agar
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Kita tidak boleh tenggelam dalam ibadah
mahdhah saja dengan mengesampingkan yang lainnya.
Dalam hadist yang lain,
tentang perintah bersegera dalam kebaikan juga di sampaikan Rasulullah SAW. “Bersegeralah kalian dalam melakukan
amal-amal sholeh karena akan muncul bebagai fitnah yang menyerupai malam yang
demikian gelap gulita. Di mana seseorang di pagi hari masih mukmin dan di sore
hari menjadi kafir, menjadi mukmin di sore hari namun di pagi hari telah
menjadi seorang kafir, dia tukar agamanya dengan dunia” ( HR Muslim dan Ahmad ).
Mereka yang tidak
memiliki aktivitas akan menjadi penebar isu dan desas-desus yang tidak bermanfaat. Ketahuilah bahwa saat paling
bebahaya bagi akal manusia adalah saat kita berada dalam kekosongan, dan
kekosongan yang dibiarkan berlanjut akan membuat seseorang terjerat kesedihan
yang berkepanjangan. Karena sesungguhnya waktu kosong adalah pencuri yang
cerdik dan culas. Maka, obatilah ia dengan kerja keras, kerja cepat, dan kerja
ikhlas, agar waktu kita berlimpah, berkah dan rahmat. Kuburlah waktu kosong
dengan kesibukan berkesinambungan. Jika kita tidak barsegera, maka
bersiap-siaplahuntuk binasa.
Betapa pentingnya kita
menyegerakan berbuat baik dan beramal sholeh tanpa menundanya, sesuai yang
diperintahkan Allah SWT. Kita sebagai manusia tidak pernah tahu apa yang akan
terjadi besok. Itulah mengapa hari esok di rahasiakan, tak lain agar manusia
tidak mengandalkan dan menunda kebaikan-kebaikan pada waktu yang tak bisa
dikuasainya.
Semua orang apapun
setatus dan profesinya ia pasti mendambakan kebaikan, sekurang- kurangnya
kebaikan bagi diri dan keluarganya, sebagaimana seorang pencuri tidak suka jika
ia kecirian, seorang pezina tidak suka dan rela keluarganya dizinai orang lain,
seorang koruptor pun tidak ingin harta
hasil korupsinya itu dikorupsi bawahannya. Jadi, kebaikan merupakan suatu yang
fitri dan universal diterima semua umat manusia. Ia terhujam dalam hati nurani
manusia dimana dan kapanpun berada. Namun kebaikan akan bermakna dan bernilai
ibadah jika dilandasi atas dasar kecintaan kepada Allah SWT Rabb yang maha
sempurna.
Kebaikan tidak harus
dibatasi oleh dimensi waktu sehingga kita tidak boleh bebuat baik hanya kali
ini saja, atau kapan-kapan, atau kadang-kadang dsb. Tapi kebaikan harus terus-
menerus hidup dalam hati dan diri kita, kita harus berbuat baik untuk sesuatu.
Salah satu keriteria sifat dan perilaku yang baik adalah dapat bermanfaat bagi
orang lain, bukankah Rasulullah SAW melalui lisannya telah bersabda yang
berbunyi, “Orang yang baik diantara kamu
adalah orang yang paling bermafaat diantara kamu”.
Kebaikan tidak didasari
pada rasa pamrih untuk dipuji ataupun dihormati, bahkan tidak juga dapat
dihargai dengan uang. Rasulullah memberikan sifat orang berbuat baik manakala
ia datang tidak kenal, tapi ketika ia pergi semua orang menangisi, sebagaimana
kisah Zainal Abidin keturunan Rasulullah SAW, di mana ia membawa kayu bakar
kepada setiap penduduk setiap malamnya, tak seorang pun tahu siapa yang bawa
dan dari mana kayu bakar itu datang selama bertahun-tahun. Sampai ketika Zainal
Abidin wafat, dijumpai terdapat tanda pada punggungnya bahwa beliau senantiasa
mengangkut beban berat, dan semenjak sepeninggalan beliau tak ada lagi orang
yang mengantarkan kayu bakar, tahulah penduduk setempat bahwa selama ini Zainal
Abidin yang telah berbaik hati untuk mengantarkan kayu bakar tersebut tanpa
sepengetahuan seseorang.
Banyak sekali kebaikan yang harus kita
lakukan, lalu apalagi yang kita tunggu, ternyata kebaikan banyak sekali di
lingkungan kita, tinggal kita ingin bersungguh-sungguh berbuat baik atau tidak
? Banyak saudara-saudara kita memerlukan kebaikan dari kita semua, apakah kita
bersifat acuh serta masa bodoh hanya melihat bahwa ia bukan saudara sedarah
atau dari kultur yang berbeda.
Sudahkah kita menjadi
orang yang bermanfaat untuk lingkungan sosial kita ? Jika kebaikan telah
menyatu dalam diri dan hati, maka kualitas pribadilah yang kita dapatkan. Ingat
Allah tidak mengajarkan kita menjadi orang-orang sholeh atau baik secara ritual
saja, tapi juga sholeh secara sosial,karena pada dasarnya kita makhluk sosial.
Jadi, kenapa kita harus menunggu untuk kebaikan dan kebenaran ?
Oleh : Rahmat Huda Sudrajat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar