A. Definisi
Hukum Wadh’ie
Sesungguhnya Allah SWT menjadikan syariat itu kabar
gembira dan kemudahan bagi hambanya, dari keadaan yang lemah, dan segala urusan
yang darurat.[1] Hukum wadh’ie
sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Al-wadhih, fii Usulil Fiqih,yang
ditulis oleh Muhammad Sulaiman Abdullah al-Assqar. Bahwasannya Allah SWT dalam
kitabnya, dengan menjadikan sebuah perintah, menjadi tanda atas perintah yang
lainnya.[2]
Adapun menurut pendapat yang lainnya,dalam buku
Ushul Fikih Bagi Pemula yang ditulis oleh; Abdul Mughits, M.Ag hukum wadh’ie
adalah hukum yang berhubungan dengan dua hal, yakni antara dua sebab (sabab)
dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut), antara
penghalang (mani’) dan yang menghalangi (mamnu), antara hukum yang sah dan
hukum yang tidak sah.[3]
Menurut Dr. Abdul Karim ibnu Ali An-namlah, dalam
karyanya yang berjudul Al-Jaamiu Limasili Usulil Fiqh, bahwasannya hukum
wadh’ie adalah sebagaimana Allah berfirman yang berhubungan dengan menjadikan
sesuatu sebab kepada sesuatu yang lainnya, syaratnya, larangannya, kemudahannya, hukum asal yang telah ditetapkan oleh Syari’
(Allah).[4]
Hukum ini dinamakan hukum wadh’ie karena dalam hukum
tersebut terdapat dua hal yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti
hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-lain. Tapi pendapat lain mengatakan
bahwa definisi hukum wadh’ie adalah hukum yang menghendaki dan menjadikan
sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani’),
atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahîh), rusak atau batal (fasid),
‘azimah atau rukhshah. Definisi ini adalah menurut Imam Amidi, Ghazali, dan
Syathibi.[5]
Jadi dapat kita simpulkan bahwa hukum wadh’ie adalah
hukum yang yang berkaitan dengan dua hal, yaitu sebab dan yang disebabi.
Seperti contonya: orang yang junub menyebabkan orang tersebut harus mandi, dan
adanya orang yang memiliki harta yang sudah mencapai Nisab menyebabkan orang
tersebut harus berzakat.
Adapun pembagian hukum wadh’ie dalam buku Ushul
Fiqih yang di karang oleh Prof. Muhammad Abu Zahrah, bahwasannya hukum wadh’ie
terbagi menjadi tiga macam yaitu; Sebab, Syarat, dan Mani’ Penghalang.[6] Akan
tetapi dalam buku yang ditulis oleh Prof.DR. Rachmat Syafe’i, M.A, Ilmu Ushul
Fiqih, bahwasannya hukum wadh’ie itu ada tujuh macam.
B. Macam-macam Hukum Wadh’ie
1. Sebab (al-Sabab)
Sabab yang dalam bahasa Indonesia disebut “sebab’,
secara etimologis, artinya adalah “sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai
pada suatu tujuan. “dari kata inilah dinamakan “jalan”, itu sebagai sabab,
karena “jalan” bisa menyampaikan seseorang
kepada tujuan. Menurut terminoogi, Imam al-Amidi, mendefinisikan dengan
sifat Zhahir yang dapat diukur yang ditunjukkan oleh dalil Sam’I (al-Qur’an dan
sunnah) bahwa keberadaannya sebagai pengenal bagi hukum syari’.[7]
Sedangkan menurut Prof.DR. Rachmat Syafii, M.A dalam
bukunya Ilmu Ushul Fiqih, bahwa Sebab menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat
menyampaikan kepada sesuatu yang lain berarti jalan yang dapat menyampaikan
kepada sesuatu tujuan. Menurut istilah adalam suatu sifat yang dijadikan sari’
sebagai tanda dari hukum.[8]
Pengertian ini menunjukan bahwa sebab sama dengan
Illat walaupun sebenarnya ada perbedaan antara sebab dengan Illat tersebut.
Akan tetapi tidak setiap sebab disebut Illat. Jadi sebab itu masih bersifat
umum sedangkan Illat itu sudah bersifat khusus. Contoh dari adanya sebab
sesuatu adalah sebagaiman Allah SWT berfirman;
Artinya; Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku,… (Al-Maidah:6)[9]
Adapun secara terminologi al-sabab adalah sesuatu
yang dijadikan oleh Syari’ untuk mengetahui hukum syariat tertentu, artinya
hukum syariat tersebut akan muncul jika al-sabab tersebut ada, sebaliknya hukum
syariat akan hilang dengan tidak adanya al-sabab tersebut. Seperti firman Allah
Swt. dalam surat al-Isra`:
Artinya: Dirikanlah salat dari sesudah matahari
tergelincir. (QS. Al-Isrâ`: 78)[10]
Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa condongnya
matahari menjadi al-sabab adanya kewajiban salat dzuhur.
a. Macam-macam al-Sabab
1)
Dilihat dari segi pengaruh yang ditimbulkan, maka al-sabab dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu:
v Al-Sabab
yang menyebabkan adanya hukum taklifie. Sebagai contoh, masuknya waktu salat
yang dijadikan Syari’ sebagai al-sabab adanya kewajiban salat. Allah Swt.
berfirman:
Artinya: Dirikanlah salat dari sesudah matahari
tergelincir. (QS. Al-Isra`: 78)
v Al-Sabab
yang menjadi sebab penetapan hak milik dan kehalalan suatu barang, atau
sebaliknya menghilangkan keduanya. Seperti akad jual beli, nikah, thalaq, dan
lain-lain.
2)
Dilihat dari segi ada dan tidaknya kemampuan seorang mukallaf dalam
melakukannya, maka al-sabab dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
v Sesuatu
yang ada dalam batas kamampuan mukallaf untuk melakukannya. Seperti berpergian
(safar) yang menjadi al-sabab diperbolehkannya berbuka puasa, pembunuhan yang
disengaja yang menjadi al-sabab adanya kewajiban qishash, dan lain-lain.
v Sesuatu
yang berada di luar batas kemampuan mukallaf. Seperti terbenamnya matahari
menjadi al-sabab adanya kewajiban salat maghrib.
2. Syarat (al-Syarthu)
Syarat adalah sesuatu yang berada di luar hukum syari’, tetapi
keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada maka
hukum pun tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum
syara’.[11] Contohnya seperti ketika kita akan melaksanakan shalat, maka syarat
yang harus dipenuhi adalah berwudhu. Akan tetapi ketika kita berwudhu, kita
tidak harus melaksanakan shalat.
Macam-macam Syarat
1) Dilihat
dari segi hubungannya dengan al-sabab dan al-musabbab, al-syarthu dibagi
menjadi dua macam[12]:
v Al-Syarthu
yang menjadi pelengkap al-sabab, artinya al-syarthu menguatkan akan makna sebab
akibat (al-sababiyyah) yang terdapat dalam hukum tersebut. Sebagai contoh,
penjagaan harta benda adalah syarat untuk melaksanakan hadd dalam pencurian.
v Al-Syarthu
yang menjadi pelengkap al-musabbab, artinya menguatkan hakikat al-musabbab atau
rukunnya. Sebagai contoh, menghadap kiblat menjadi syarat sahnya salat.
2)
Dilihat dari segi sumber yang menetapkan, al-syarthu dibagi menjadi dua
macam[13]:
v Al-Syarthu
al-syar’ie, yaitu syarat yang telah ditetapkan oleh Syari’. Seperti
syarat-syarat yang terdapat dalam ibadah, muamalat, jinayah, dan lain-lain.
v Al-Syarthu
al-ja’lae, yaitu syarat yang dibuat dan ditetapkan oleh seorang mukallaf.
Seperti syarat terjadinya thalaq yang ditetapkan seorang suami terhadap
istrinya. Seorang mukallaf tidak bisa seenaknya dalam membuat dan menetapkan
sebuah al-syarthu al-ja’lie, karena telah ada batasan-batasan syariat yang
telah dijelaskan. Sebagai contoh, seorang mukallaf tidak diperbolehkan
menetapkan syarat yang dapat menghilangkan hakikat hukum syariat, karena pada
esensinya syarat berperan sebagai pelengkap al-sabab yang telah memunculkan
hukum syariat tersebut.
3)
Al-Syarthu al-ja’lie sendiri terbagi menjadi dua macam[14]:
v Syarat
al-mu’allaq, yaitu syarat yang sah dan tidaknya suatu akad tergantung pada
syarat tersebut, artinya seorang mukallaf telah menetapkan syarat dalam suatu
akad. Sebagai contoh, perkataan seorang suami terhadap istrinya “jika kamu
mencuri maka kamu bukan istriku.”
v Syarat
al-muqtarin bi al-‘aqdi atau syarat muqayyad, yaitu syarat yang menyertai
sebuah akad. Seperti seorang yang menjual rumah dengan syarat tinggal satu
tahun.
3. Pencegah (Al-Mani’)
Definisi al-mani’ secara etimologi berarti
“penghalang dari sesuatu”. Secara terminologi; sesuatu yang ditetapkan syariat
sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya sesuatu
sebab. Sebuah akad perkawinan yang sah karena telah mencukupi syarat dan
rukunnya adalah sebagai sebab waris mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu
bisa terhalang di sebabkan suami misasnya membunuh istrinya.[15]
Macam-macam al-Mani’
Al-Mâni’ terbagi menjadi dua macam:
v Mâni’
al-hukmi, yaitu al-mani’ yang dapat menghilangkan suatu hukum syariat. Seperti
tidak berlakunya qishâsh bagi seorang ayah yang telah membunuh anaknya.
v Mani’
al-sabab, yaitu al-mani’ yang dapat menghilangkan al-sabab yang telah
memunculkan suatu hukum syariat. Seperti mengurangi nisab dalam zakat yang
menjadi al-mâni’ dari kewajiban zakat.
4. Sah (Al-Shihhah)
As-sihhah adalah suatu hukum yang sesuai dengan
ketentuan syari’ yaitu terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’.
Misalnya, mengerjakan shalat duhur setelah tergelincir matahari (sebab) dan
telah berwudu (syarat), dan tidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya
(tidak haid, nifas, dan sebagainya). Dalam hal ini, pekerjaan yang dilaksanakan
itu hukumnya sah.[16]
Daripenjelasan di atas bahwa As-sihhah adalah
apabila kita akan mengerjakan sesuatu dikatakan sah apabila sudah ada sebab dan
syarat itu terpenuhi, dan tidak ada penghalang dari kedua hal tersebut.
5. Batal (al-Buthlan)
al-Buthlan adalah sesuatu yang dilakukan atau hal yang diadakan oleh
orang mukallaf yang tidak sesuai dengan tuntunan syara’ adalah tidak sah dan
tidak mempunyai akibat hukum, baik tidak sahnya itu karena cacat pada rukun,
maupun tidak terpenuhi syarat-syarat yang diperlukan dan baik dalam soal
ibadah, maupun dalam soal mu’amalah. Maka atas dasar ini sebagian para ahli
ushultidak membedakan antara pengertian Bathil dan Fasid.[17]
Jadi al-Buthlan adalah sesuatu perbuatan yang tidak disyariatkan oleh
Islam, oleh sebab itu segala perbuatan yang tidak disyariatkan Islam adalah
batal, seperti halnya; Memperjualkan minuman keras, Narkoba. Akad ini dipandang
batal , karena minuman keras dan narkoba tidak bernilai harta dalam pandangan
syara.
6. Al-‘Azimah
Secara etimologi ‘azimah berarti al-iradah
al-muakkidah atau al-qashdu al-muakkid, yaitu keinginan yang kuat.akan tetapi
Azimah dalam hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada hamba-hambanya sejak
semula. [18] Jadi Azimah adalah peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah
sejak dulu (asli) yang berlaku umum.
Adapun secara terminologi ‘azimah berarti hukum
syariat bagi sorang mukallaf yang berlaku dalam segala situasi dan kondisi.
Seperti kewajiban salat, zakat, puasa, dan lain-lain.
Misalnya bangkai, menurut aslinya, adalah haram
dimakan oleh semua orang mukallaf . akan tetapi bagi orang yang dalam keadaan
terpaksa, ia diperkenankan untuk memakannya, asal tidak berlebih-lebihan
ataudengan maksud untuk menentang ketentuan Allah. Haram memakan bangkai itu
azimah, sedangkan boleh memakan bangkai itu adalah rukhsah.
7. al-Rukhshah
Al-rukhsah ialah ketentuan yang disyaruatkan oleh
Allah sebagai peringatan terhadap orang mukallaf dalam hal-hal yang khusus.[19]
Secara etimologi rukhshah berarti al-suhulah dan al-yusru, atau al-tashil dan
al-taisir yang berarti memudahkan atau meringankan. Adapun secara terminologi
rukhshah adalah hukum syariat yang telah ditetapkan oleh Syari’ sebagai
peringanan beban bagi seorang mukallaf dalam kondisi tertentu, atau hukum
syariat yang ditetapkan karena adanya halangan atau masyaqqah dalam keadaan
tertentu.
Macam-macam Rukhshah
v Pembolehan
sesuatu yang haram pada waktu darurat atau terpaksa. Seperti makan bangkai atau
makanan yang diharamkan syariat ketika dalam keadaan sangat lapar, tidak ada
makanan lain, dan takut akan kematian.
v Pembolehan
meninggalkan kewajiban. Seperti berbuka puasa bagi seorang musafir atau seorang
yang sedang sakit di bulan ramadhan dikarenakan adanya masyaqqah.
v Pembolehan
suatu akad muamalat yang menjadi kebutuhan manusia. Seperti akad jual beli
pemesanan. Pada dasarnya akad jual beli pemesanan tidak diperbolehkan, karena
barang yang dibeli tidak ada ketika akad berlangsung. Syâri’ telah
membolehkannya karena adanya kebutuhan manusia dan telah menjadi hukum
kebiasaan yang telah berlaku.
Pembagian Rukhshah menurut Hanafiyyah
v Rukhshah
tarfih, yaitu rukhshah yang hukum aslinya (‘azimah) tetap berlaku dan mukallaf
diberi kebebasan untuk mengambil rukhshah tersebut atau tetap melaksanakan
hukum asli (‘azîmah). Seperti berbuka puasa bagi seorang musafir di bulan
ramadhan. Jika musafir tersebut berbuka, maka ia telah mengambil rukhshah yang
diberikan oleh Syâri’, namun ketika ia tetap berpuasa maka ia telah
melaksanakan hukum asli (‘azîmah).
v Rukhshah
isqâth, yaitu rukhshah yang hukum aslinya (‘azîmah) hilang, karena kondisi yang
memaksa harus adanya rukhshah. Seperti makan bangkai dalam keadaan darurat dan
takut akan kematian.
C. Penutup
Hukum wadh’ie yang telah ditetapkan oleh Syiri’
sebagai faktor keeksistensian sebuah hukum syariat bagi seorang mukallaf,
haruslah sangat diperhatikan sebagaimana menyikapi hukum taklifie. Macam dan
bagian serta ikhtilâf yang terjadi di kalangan para ulama dalam hukum tersebut
yang telah dipaparkan oleh penulis, hanyalah sekedar sebagai pengantar studi
saja, karena di sana masih banyak pembahasan yang tidak dapat dicantumkan dalam
makalah yang sederhana ini mengingat situasi dan kondisi.
Hukum wadh’ie adalah implementasi dari hukum
taklifie, jadai hukum wadh’ie ini lebih kepada masalah-masalah yang lebih
khusus di banding dengan hukum taklifie. Akan tetapi para ulama berbeda
pendapat dengan hukum-hukum yang berada dalam hukum wadh’ie ini
Akhirnya semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi
penulis pribadi, dan jika ada kesalahan mohon kritikan agar kita semakin baik
kedepannya, Amin yaa Raabal Alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar