IBNU
TAYMIYYAH
(
ulama’fiqih, ahli hadits, tafsir, ilmu ushul dan hafidz )
Beliau adalah Taqiyyudin Ahmad
bin abdilhalim bin Taymiyyah, ayahnya Syihabuddin bin Taymiyyah, seorang
syaikh, hakim, khatib, ‘alim dan wara’. Lahir di Harran , 10 Rabiul Awwal 661 H
di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya islam.
Ibnu Taymiyyah amat menguasai
rijalul Hadits ( perawi hadits ) dan fununul hadits ( macam-macam hadits ) baik
yang lemah, cacat ataupun shahih. Beliau memahami semua hadits yang termuat
dalam kutubus sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai
hujjah, ia memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kasalahandan
kelemahan para mufassir.
Pandangan dan jalan pikiran
Pemikiran Ibnu Taymiyyah tak
hanya merambahbidang syar’i, tapi juga mengupas masalah politik dan
pemerintahan. Pemikiran beliau dalam bidang politik dapat dikaji dari bukunya
Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah fi naqd Kalam as-Syi’ah wal Qadariyah ( jalan
sunnah nabi dalam penyangkalan terhadap keyakinan kalangan syi’ah dan qadariyah
), as-Siyasah as-Syar’iyah (sitem politik syari’ah ), Kitab al-Ikhriyatul
‘Ilmiyah ( kitab aturan-aturan yuridis yang berdiri sendiri ) dan Al-Hisbah fil
Islam ( pengamat terhadap kesusilaan masyarakat dalam Islam ).
Beliau hanya percaya pada
syati’at dan aqidah serta dalil-dalil yang ditunjukkan oleh nash-nash. Karena
nash tersebut merupakan wahyu yang berasal dari Allah Ta’ala. Aliran ini tak
percaya pada metode logika rasional yang asing bagi islam, karena metode semacam
ini tidak terdapat pada masa sahabat maupun tabi’in. Baik dalam masalah
Ushuluddin, fiqih, Akhlaq dan lain-lain, selalu ia kembalikan pada Qur’an dan
Hadits yang mutawatir. Bila hal itu tidak tidak dijumpai maka ia bersandar pada
pendapat para sahabat, meskipun ia seringkali memberikan dalil-dalilnya
berdasarkan kata tabi’in dan atsar-atsar yang mereka riwayatkan.
Menurut Ibnu Taymiyyah, akal
pikiran amatlah terbatas. Apalagi dalam menafsirkan Al-Qur’an maupun hadits. Ia
meletakan akal pikiran dibelakan nash-nash agama yang tak boleh berdiri
sendiri. Akal tak berhak menafsirkan, menguraikan dan mentakwilkan qur’an,
kecuali dalam batas-batas yang diizinkan oleh kata-kata ( bahasa ) dan
dikuatkan oleh hadits. Akal fikiran hanyalah saksi pembenar dan penjelas
dalil-dalil Al-Qur’an.
Bagi beliau tak ada pertentangan
antara cara memakai dalil naqli yang shahih dengan cara aqli yang sharih. Akal
tidak berhak mengemukakan dalil sebelum didatangkan dalil naqli. Bila ada
pertentangan antara akal dan pendengaran ( sam’i ) maka harus didahulukan dalil
qath’i, baik ia merupakan dalil qath’i maupun sam’i.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar