4 September 2012

Belajar Tiada Henti


Belajar Tiada Henti
Suatu proses yang harus dan dituntut tetap ada dalam diri setiap manusia adalah belajar. Dengan belajar, manusia akan menjadi lebih baik, tidak terjebak pada kesalahan atau kegagalan yang sama, cerdas, bijaksana, adil, taat kepada Allah SWT, juga mendapat sejuta kebaikan lain.
Sebagai suatu proses tanpa henti, belajar seharusnya dilakukan setiap waktu, di setiap tempat dan kesempatan. Sedangkan formalitasnya dilakukan di sekolah, sebagai rangkaian kegiatan belajar yang dilembagakan dalam rangka membentuk konsep manusia seutuhnya.
Ironisnya, belajar, meskipun merupakan bagian yang tidak bisa ditawar-tawar dalam kehidupan manusia, seringkali menjadi kegiatan yang tidak menarik perhatian, rasa malas dan rendahnya motivasi menjadi fenomena umum. Implikasinya, prestasi siswa pun menurun.
Tak berhenti di situ, keengganan serta rasa malas itu juga dapat menjalar pada sikap negatif lainnya, misalnya tawuran, pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, dan sebagainya. Hal ini terjadi karena anak yang tidak tertarik belajar itu mengalihkan rasa ketertarikannya pada hal yang lebih menantang dan menarik bagi mereka.
Kalau sudah begini, guru dan orang tua baru tersentak dan segera mencari solusi. Berbagai teori, kiat, maupun nasehat didingat kembali. Tak jarang usaha-usaha yang mereka lakukan itu gagal atau berjasil sementara, karena mengubah perilaku tak semudah membalik telapak tangan.
Berbagai teori yang diperuntukkan bagi peningkatan motivasi dan semangat belajar tak lagi kuasa menunjukkan kekuatannya, karena hanya dimunculkan, didiskusikan, dan diharapkan akan diterapkan. Penerapan inilah yang sulit dibahasakan pada praktik belajar sehari-hari.
Kemalasan belajar sebenarnya muncul dari kata belajar itu sendiri. Dalam masyarakat kita, makna belajar tereduksi menjadi hanya berupa aktifitas di dalam kelas, harus ada buku, guru, dan siswa, serta ada target-target yang harus dikuasai. Dengan pemahaman ini, maka kata belajar menjadi sangat membosankan. Yang dimunculkan bukan motivasi internal, tapi malah motivasi eksternal.
Pemahaman Islam mengenai belajar, sangatlah berorientasi pada motivasi internal. Dalam beberapa hadis disebutkan bahwa manusia ditekankan untuk menuntut ilmu dari buaian sampai liang lahat.
Pemahaman ini kemudian dijadikan konsep untuk menggiatkan belajar seumur hidup ( long live education ). Surah Al- Mujadalah [58] ayat 11 mengungkapkan ,”Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan berilmu sebanyak beberapa derajat”.
Mengapa seorang muslim mau belajar seumur hidup ? Motivasi belajar dalam Islam bukanlah untuk mencari pekerjaan. Dalam Islam, belajar itu ibadah atau sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Karena bagian dari ibadah, maka umat Islam harus melakukannya sepanjang hidup.
Jika motivasi belajar untuk mendapatkan pekerjaan dan kepuasan dunia, maka pembodohan terhadap pemahaman belejar sudah sangat membahayakan. Orang yang sudah mendapatkan pekerjaan sesuai dengan tujuannya, tidak mau lagi belajar terus menerus.

2 September 2012

Berfikir Parsial

Berfikir Parsial
Matahari itu berbeda dengan bulan. Matahari memancarkan sinar, sedangkan bulan hanya memantulkan sinar. Mataharihanya terlihat di siang hari, sedangkan bulan terlihat di malam hari. Keduanya berbeda. Sekalipun keduanya sama-sama makhluk Allah, sama-sama lemah, sama-sama terbatas, dan sama-sama membutuhkan, tetapi keduanya berbeda. Oleh karena itu, kesimpulan kita adalah bahwa
“matahari dan bulan itu berbeda”
Mengapa kita membedakan antara matahari dengan bulan, padahal keduanya adalah makhluk Allah? Itu karena kita melihat fakta yang berbeda. Faktanya, matahari berbeda dengan bulan. Terlihatnya fakta yang berbeda, telah membedakan antara fakta satu dengan fakta yang lain. Terlihatnya suatu fakta, bisa diraih ketika kita melihat (mengidentifikasi) beberapa hal yang menjadi ciri mendasar atau ciri khas dari fakta tersebut. Adanya ciri khas atau ciri mendasar, telah membedakan antara fakta satu dengan yang lain.
Matahari itu berbeda dengan bulan. Itu jelas. Perbedaan mendasar keduanya adalah waktu terbitnya, waktu kemunculannya, sifat dari zatnya. Matahari hanya terlihat pada siang hari, sedangkan bulan hanya terlihat malam hari. Matahari terbit waktu pagi hari, sedangkan bulan terbitnya ketika matahari mulai terbenam. Matahari memiliki sifat memancarkan cahaya, sedangkan bulan memiliki sifat memantulkan sinar. Kita memikirkan matahari tentang banyak hal. Kita juga memikirkan banyak fakta berkaitan dengan bulan. Kemudian kita pikirkan hal apakah yang paling mendasar di antara keduanya, baru kita membedakannya. Kesimpulannya, matahari berbeda dengan bulan.
Kapitalisme dan komunisme itu berbeda. Sekalipun keduanya sama-sama ideologi, tetapi keduanya memiliki fakta yang berbeda. Sekalipun keduanya sama-sama pernah dianut oleh negara, tetapi keduanya berbeda dalam hal aplikasinya. Mengapa kita membedakannya? Karena keduanya memiliki ciri khusus (mendasar) yang berbeda. Komunisme berangkat dari materialisme sedangkan kapitalisme berangkat dari sekulerisme. Sekalipun keduanya sama-sama ideologi kufur, tetapi keduanya jelas berbeda. Kita membedakannya, karena adanya perbedaan mendasar yang menjadi ciri khas keduanya. Inilah yang dimaksud dengan berpikir menyeluruh.
Namun demikian, cara berpikir menyeluruh seperti ini rupanya tidak selalu menjadi cara berpikir setiap orang. Artinya, cara berpikir menyeluruh ini kadang digunakan, tetapi di saat yang lain dibuang. Jika dibuang, lalu cara berpikir seperti apakah yang digunakan? Tidak lain adalah cara berpikir parsial atau setengah-setengah.
Apa itu cara berpikir setengah-setengah? Cra berpikir setengah-setengah adalah cara berpikir yang mengambil kesimpulan secara gegabah tanpa melihat ciri mendasar atau ciri khas yang ada pada masing-masing fakta. Cara berpikir seperti ini, biasanya dibangun dari cara berpikir logika. Itu pun dengan premis-premis yang setengah-setengah, atau bahkan malah premis yang salah.
Contoh, menyamakan antara Hizbut Tahrir dengan Muktazilah. Premis pertama, Hizbut Tahrir dikatakan menolak hadis ahad. Premis kedua, Muktazilah juga menolak hadis ahad. Kesimpulannya, Hizbut Tahrir sama dengan Muktazilah.
Contoh lain, Hizbut Tahrir sama dengan Khawarij. Premis pertama, Hizbut Tahrir selalu menentang perintah penguasa. Premis kedua, Khawarij juga selalu menentang perintah penguasa. Kesimpulannya, Hizbut Tahrir sama dengan Khawarij.
Contoh lain, suatu ketika seseorang yang sangat fanatik dengan organisasinya menyatakan kepada saya, Hizbut Tahrir itu sama seperti Muhammadiyah. Premis pertama, Hizbut Tahrir memulai Ramadhan 1433 H pada hari Jumat. Premis kedua, Muhammadiyah juga memulai Ramadhan 1433 H pada hari Jumat. Kesimpulannya, Hizbut Tahrir sama seperti Muhammadiyah.
Ada contoh lain lagi. Ada orang yang mengatakan kepada saya, Gerakan Wahabi itu sama seperti Majelis Tafsir Alquran. Masalahnya, keduanya sama-sama menolak tahlilan, yasinan, dan shalawatan.
Contoh yang lain lagi. Hizbut Tahrir dikatakan hipokrit. Sebab, di satu sisi Hizbut Tahrir menolak sistem republik, tetapi tidak mengharamkan orang yang bekerja menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang notabene hidup di sistem republik. Ada juga yang mengatakan bahwa Hizbut Tahrir hipokrit. Di satu sisi mengharamkan regulasi yang berasal dari negara demokrasi, tetapi di sisi lain Hizbut Tahrir mendaftarkan diri di Kementerian Dalam Negeri.
Masih ada juga contoh lainnya. Misalnya, Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin itu sama. Sama-sama seperti Khawarij. Sebab, Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin di banyak negara selalu mengkritik kebijakan penguasa dan melawan penguasa. Contoh lain lagi, Hizbut Tahrir dikatakan sama seperti Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebab, keduanya sama-sama menyerukan revolusi.
Contoh lagi, Hizbut Tahrir dikatakan sama seperti Syiah. Gara-garanya, Syiah dan Hizbut Tahrir sama-sama menginginkan imamah. Bahkan ada yang pernah mengatakan kepada saya, Hizbut Tahrir itu sama seperti PKS. Sebab, keduanya sering ‘menyerang NU’ di beberapa tempat. Baik itu cara beribadahnya atau kaitannya dengan tahlilan dan yasinan. Masya Allah…
Sungguh, cara berpikir seperti ini adalah cara berpikir yang berbahaya. Bisa memecah belah umat. Cara generalisir seperti ini, jelas sekali tidak berangkat dari cara berpikir yang menyeluruh. Hanya karena adanya kesamaan di satu sisi, kemudian disamakan semuanya. Masya Allah..
Cara berpikir seperti ini, berangkat dari cara berpikir parsial (setengah-setengah). Padahal jika seseorang mau berpikir menyeluruh, berpikir tentang banyak hal, dan berpikir mendalam tentang ciri khas (khusus) dari dua fakta yang berbeda, tentu yang ada adalah pembedaan.
Misalnya, Hizbut Tahrir dikatakan sama seperti Muktazilah, hanya gara-gara adanya asumsi bahwa Hizbut Tahrir dan Muktazilah sama-sama menolak hadis ahad dan mengingkari siksa kubur. Padahal, Hizbut Tahrir tidak pernah menolak hadis ahad (baik dalam masalah akidah ataupun syariah), dan Hizbut Tahrir juga mempercayai azab kubur.
Atau menyamakan antara Gerakan Wahabi dengan Majelis Tafsir Alquran. Padahal Gerakan Wahabi memiliki fakta khusus yang berbeda dengan Majelis Tafsir Alquran, bagaimana bisa keduanya dikatakan sama? Bagaimana bisa Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin dikatakan Khawarij, padahal Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin memiliki fakta atau ciri khas yang berbeda dengan Khawarij? Bagaimana bisa Asy Syahid Hasan Al Banna dikatakan sebagai tokoh sufi, sedangkan fakta khusus dari Hasan Al Banna, berbeda dengan para tokoh sufi? Bagaimana bisa Hizbut Tahrir disamakan dengan PKI, sedangkan keduanya memiliki fakta yang berbeda?
Berdasarkan pemahaman yang parsial itu, diketahui bahwa sebenarnya orang yang terlalu simplikatif (menyederhanakan masalah) dengan cara menyamakan-nyamakan antara satu fakta dengan yang lain, sebenarnya adalah orang yang memiliki pengetahuan yang setengah-setengah.
Bagi yang menyamakan Hizbut Tahrir dengan Muktzailah, ketahuan bahwa dia tidak memiliki fakta menyeluruh tentang Hizbut Tahrir dan Muktazilah. Bagi orang yang menyamakan Ikhwanul Muslimin dengan Khawarij, ketahuan sekali bahwa dia tidak mengetahui fakta menyeluruh tentang Ikhwanul Muslimin dan fakta menyeluruh tentang Khawarij. Bagi orang yang menyamakan antara Majelis Tafsir Alquran (MTA) dengan Gerakan Wahabi, jelas sekali ketahuan bahwa dia tidak memiliki fakta menyeluruh tentang Gerakan Wahabi dan MTA. Bagi orang yang menganggap Hizbut Tahrir hipokrit karena mendaftarkan diri di Kemendagri, jelas sekali dia tidak memiliki fakta menyeluruh tentang pemahaman Hizbut Tahrir dan konsep halal-haram. Lebih bodoh lagi, ketika ada orang menyamakan antara Hizbut Tahrir dengan Muhammadiyah atau PKI. Masya Allah..
Walhasil, sikap gegabah dan serampangan dalam mengambil kesimpulan telah membuat orang menjadi gelap mata. Entah apa yang tersembunyi dalam hatinya dan apa yang dia pikirkan, yang jelas perbuatan tercela itu benar-benar dilihat Allah dan dicatat malaikat. Jika suatu pihak disama-samakan dengan pihak lain, padahal keduanya memiliki fakta yang berbeda, itu sudah cukup menjadi suatu fitnah. Dia telah menuduh saudaranya melakukan ini dan itu, padahal saudaranya tersebut tidak melakukannya. Hendaknya kita takut akan firman Allah,
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 58)
Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang tidak gegabah dalam melakukan justifikasi. Sebab, sesungguhnya Hizbut Tahrir itu bersaudara dengan Gerakan Wahabi, MTA, PKS, Ikhwanul Muslimin, Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Dewan Dakwah, Al Ittihadiyah, Persis, Al Washliyah, Sarekat Islam, Gerakan Tarbiyah, KAMMI, Ikatan Pelajar Nahdatul Ulama, Ikatan Muda Muhammadiyah, dan seluruh elemen Islam, apa pun namanya. Sesungguhnya kami bersaudara. Saling ingat-mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.



Sumber: http:detikislam.com