28 November 2012



IBNU TAYMIYYAH
( ulama’fiqih, ahli hadits, tafsir, ilmu ushul dan hafidz )
Beliau adalah Taqiyyudin Ahmad bin abdilhalim bin Taymiyyah, ayahnya Syihabuddin bin Taymiyyah, seorang syaikh, hakim, khatib, ‘alim dan wara’. Lahir di Harran , 10 Rabiul Awwal 661 H di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya islam.
Ibnu Taymiyyah amat menguasai rijalul Hadits ( perawi hadits ) dan fununul hadits ( macam-macam hadits ) baik yang lemah, cacat ataupun shahih. Beliau memahami semua hadits yang termuat dalam kutubus sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah, ia memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kasalahandan kelemahan para mufassir.
Pandangan dan jalan pikiran
Pemikiran Ibnu Taymiyyah tak hanya merambahbidang syar’i, tapi juga mengupas masalah politik dan pemerintahan. Pemikiran beliau dalam bidang politik dapat dikaji dari bukunya Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah fi naqd Kalam as-Syi’ah wal Qadariyah ( jalan sunnah nabi dalam penyangkalan terhadap keyakinan kalangan syi’ah dan qadariyah ), as-Siyasah as-Syar’iyah (sitem politik syari’ah ), Kitab al-Ikhriyatul ‘Ilmiyah ( kitab aturan-aturan yuridis yang berdiri sendiri ) dan Al-Hisbah fil Islam ( pengamat terhadap kesusilaan masyarakat dalam Islam ).
Beliau hanya percaya pada syati’at dan aqidah serta dalil-dalil yang ditunjukkan oleh nash-nash. Karena nash tersebut merupakan wahyu yang berasal dari Allah Ta’ala. Aliran ini tak percaya pada metode logika rasional yang asing bagi islam, karena metode semacam ini tidak terdapat pada masa sahabat maupun tabi’in. Baik dalam masalah Ushuluddin, fiqih, Akhlaq dan lain-lain, selalu ia kembalikan pada Qur’an dan Hadits yang mutawatir. Bila hal itu tidak tidak dijumpai maka ia bersandar pada pendapat para sahabat, meskipun ia seringkali memberikan dalil-dalilnya berdasarkan kata tabi’in dan atsar-atsar yang mereka riwayatkan.
Menurut Ibnu Taymiyyah, akal pikiran amatlah terbatas. Apalagi dalam menafsirkan Al-Qur’an maupun hadits. Ia meletakan akal pikiran dibelakan nash-nash agama yang tak boleh berdiri sendiri. Akal tak berhak menafsirkan, menguraikan dan mentakwilkan qur’an, kecuali dalam batas-batas yang diizinkan oleh kata-kata ( bahasa ) dan dikuatkan oleh hadits. Akal fikiran hanyalah saksi pembenar dan penjelas dalil-dalil Al-Qur’an.
Bagi beliau tak ada pertentangan antara cara memakai dalil naqli yang shahih dengan cara aqli yang sharih. Akal tidak berhak mengemukakan dalil sebelum didatangkan dalil naqli. Bila ada pertentangan antara akal dan pendengaran ( sam’i ) maka harus didahulukan dalil qath’i, baik ia merupakan dalil qath’i maupun sam’i.

9 November 2012

PENGERTIAN IJTIHAD



Dari segi bahasa, Ijtihad berasal dari kata kerja ( fi'il ) : jahada, yajhadu, bentuk mashdarnya: jahdan yang berarti: pengerahan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit atau bersungguh-sungguh dalam bekerja dengan segenap kemampuan atau mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan  mengerjakan apa saja, asal dilakukan dengan penuh kesungguhan, adalah berijtihad namanya. Kata ijtihad memang tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dikerjakan dengan susah payah.
 Sedangkan menurut istilah, terdapat beberapa definisi ijtihad, diantaranya adalah:
a.       Menurut Al-‘Amidy: mencurahkan segala kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat zhanny.
b.      Menurut Tajuddin Ibnu Subky: pengerahan segala kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan hukum yang zhanny.
c.       Menurut Khudari Bek: pengerahan kemampuan menalar dari seorang faqih dalam mencari hukum-hukum syar’i.
d.      Menurut Abdul Wahhab Khallaf: mencurahkan daya kemampuan untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ secara terperinci.
Dari beberapa definisi ijtihad di atas terlihat adanya pesamaan pandangan. Walaupun redakdinya berbeda, namun pada perinsipnya mereka sepakat, bahwa ijtihad adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan energi yang banyak.
Selain dari itu timbulnya masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat yang ketetapan hukumnya belum ada baik dalam Alquran maupun hadis. Seperti masalah inseminasi buatan (kawin suntik) pada manusia, bayi tabung, penggantian kelamin, donor mata dan lain-lain. Semua ini memerlukan Ijtihad untuk menetapkan hukumnya.

PENGRETIAN HUKUM WADH'I



A.   Definisi Hukum Wadh’ie
Sesungguhnya Allah SWT menjadikan syariat itu kabar gembira dan kemudahan bagi hambanya, dari keadaan yang lemah, dan segala urusan yang darurat.[1]  Hukum wadh’ie sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Al-wadhih, fii Usulil Fiqih,yang ditulis oleh Muhammad Sulaiman Abdullah al-Assqar. Bahwasannya Allah SWT dalam kitabnya, dengan menjadikan sebuah perintah, menjadi tanda atas perintah yang lainnya.[2]
Adapun menurut pendapat yang lainnya,dalam buku Ushul Fikih Bagi Pemula yang ditulis oleh; Abdul Mughits, M.Ag hukum wadh’ie adalah hukum yang berhubungan dengan dua hal, yakni antara dua sebab (sabab) dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut), antara penghalang (mani’) dan yang menghalangi (mamnu), antara hukum yang sah dan hukum yang tidak sah.[3]
Menurut Dr. Abdul Karim ibnu Ali An-namlah, dalam karyanya yang berjudul Al-Jaamiu Limasili Usulil Fiqh, bahwasannya hukum wadh’ie adalah sebagaimana Allah berfirman yang berhubungan dengan menjadikan sesuatu sebab kepada sesuatu yang lainnya, syaratnya,  larangannya, kemudahannya,  hukum asal yang telah ditetapkan oleh Syari’ (Allah).[4]
Hukum ini dinamakan hukum wadh’ie karena dalam hukum tersebut terdapat dua hal yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-lain. Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wadh’ie adalah hukum yang menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani’), atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahîh), rusak atau batal (fasid), ‘azimah atau rukhshah. Definisi ini adalah menurut Imam Amidi, Ghazali, dan Syathibi.[5]
Jadi dapat kita simpulkan bahwa hukum wadh’ie adalah hukum yang yang berkaitan dengan dua hal, yaitu sebab dan yang disebabi. Seperti contonya: orang yang junub menyebabkan orang tersebut harus mandi, dan adanya orang yang memiliki harta yang sudah mencapai Nisab menyebabkan orang tersebut harus berzakat.
Adapun pembagian hukum wadh’ie dalam buku Ushul Fiqih yang di karang oleh Prof. Muhammad Abu Zahrah, bahwasannya hukum wadh’ie terbagi menjadi tiga macam yaitu; Sebab, Syarat, dan Mani’ Penghalang.[6] Akan tetapi dalam buku yang ditulis oleh Prof.DR. Rachmat Syafe’i, M.A, Ilmu Ushul Fiqih, bahwasannya hukum wadh’ie itu ada tujuh macam.

B. Macam-macam Hukum Wadh’ie
1. Sebab (al-Sabab)
Sabab yang dalam bahasa Indonesia disebut “sebab’, secara etimologis, artinya adalah “sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu tujuan. “dari kata inilah dinamakan “jalan”, itu sebagai sabab, karena “jalan” bisa menyampaikan seseorang  kepada tujuan. Menurut terminoogi, Imam al-Amidi, mendefinisikan dengan sifat Zhahir yang dapat diukur yang ditunjukkan oleh dalil Sam’I (al-Qur’an dan sunnah) bahwa keberadaannya sebagai pengenal bagi hukum syari’.[7]
Sedangkan menurut Prof.DR. Rachmat Syafii, M.A dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqih, bahwa Sebab menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada sesuatu tujuan. Menurut istilah adalam suatu sifat yang dijadikan sari’ sebagai tanda dari hukum.[8]
Pengertian ini menunjukan bahwa sebab sama dengan Illat walaupun sebenarnya ada perbedaan antara sebab dengan Illat tersebut. Akan tetapi tidak setiap sebab disebut Illat. Jadi sebab itu masih bersifat umum sedangkan Illat itu sudah bersifat khusus. Contoh dari adanya sebab sesuatu adalah sebagaiman Allah SWT berfirman;
Artinya; Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,… (Al-Maidah:6)[9]
Adapun secara terminologi al-sabab adalah sesuatu yang dijadikan oleh Syari’ untuk mengetahui hukum syariat tertentu, artinya hukum syariat tersebut akan muncul jika al-sabab tersebut ada, sebaliknya hukum syariat akan hilang dengan tidak adanya al-sabab tersebut. Seperti firman Allah Swt. dalam surat al-Isra`:
Artinya: Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir. (QS. Al-Isrâ`: 78)[10]
Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa condongnya matahari menjadi al-sabab adanya kewajiban salat dzuhur.
a. Macam-macam al-Sabab
1)      Dilihat dari segi pengaruh yang ditimbulkan, maka al-sabab dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
v  Al-Sabab yang menyebabkan adanya hukum taklifie. Sebagai contoh, masuknya waktu salat yang dijadikan Syari’ sebagai al-sabab adanya kewajiban salat. Allah Swt. berfirman:
Artinya: Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir. (QS. Al-Isra`: 78)
v  Al-Sabab yang menjadi sebab penetapan hak milik dan kehalalan suatu barang, atau sebaliknya menghilangkan keduanya. Seperti akad jual beli, nikah, thalaq, dan lain-lain.
2)      Dilihat dari segi ada dan tidaknya kemampuan seorang mukallaf dalam melakukannya, maka al-sabab dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
v  Sesuatu yang ada dalam batas kamampuan mukallaf untuk melakukannya. Seperti berpergian (safar) yang menjadi al-sabab diperbolehkannya berbuka puasa, pembunuhan yang disengaja yang menjadi al-sabab adanya kewajiban qishash, dan lain-lain.
v  Sesuatu yang berada di luar batas kemampuan mukallaf. Seperti terbenamnya matahari menjadi al-sabab adanya kewajiban salat maghrib.
2. Syarat (al-Syarthu)
            Syarat adalah sesuatu yang berada di luar hukum syari’, tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada maka hukum pun tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’.[11] Contohnya seperti ketika kita akan melaksanakan shalat, maka syarat yang harus dipenuhi adalah berwudhu. Akan tetapi ketika kita berwudhu, kita tidak harus melaksanakan shalat.
Macam-macam Syarat
1)      Dilihat dari segi hubungannya dengan al-sabab dan al-musabbab, al-syarthu dibagi menjadi dua macam[12]:
v  Al-Syarthu yang menjadi pelengkap al-sabab, artinya al-syarthu menguatkan akan makna sebab akibat (al-sababiyyah) yang terdapat dalam hukum tersebut. Sebagai contoh, penjagaan harta benda adalah syarat untuk melaksanakan hadd dalam pencurian.
v  Al-Syarthu yang menjadi pelengkap al-musabbab, artinya menguatkan hakikat al-musabbab atau rukunnya. Sebagai contoh, menghadap kiblat menjadi syarat sahnya salat.
2)      Dilihat dari segi sumber yang menetapkan, al-syarthu dibagi menjadi dua macam[13]:
v  Al-Syarthu al-syar’ie, yaitu syarat yang telah ditetapkan oleh Syari’. Seperti syarat-syarat yang terdapat dalam ibadah, muamalat, jinayah, dan lain-lain.
v  Al-Syarthu al-ja’lae, yaitu syarat yang dibuat dan ditetapkan oleh seorang mukallaf. Seperti syarat terjadinya thalaq yang ditetapkan seorang suami terhadap istrinya. Seorang mukallaf tidak bisa seenaknya dalam membuat dan menetapkan sebuah al-syarthu al-ja’lie, karena telah ada batasan-batasan syariat yang telah dijelaskan. Sebagai contoh, seorang mukallaf tidak diperbolehkan menetapkan syarat yang dapat menghilangkan hakikat hukum syariat, karena pada esensinya syarat berperan sebagai pelengkap al-sabab yang telah memunculkan hukum syariat tersebut.
3)      Al-Syarthu al-ja’lie sendiri terbagi menjadi dua macam[14]:
v  Syarat al-mu’allaq, yaitu syarat yang sah dan tidaknya suatu akad tergantung pada syarat tersebut, artinya seorang mukallaf telah menetapkan syarat dalam suatu akad. Sebagai contoh, perkataan seorang suami terhadap istrinya “jika kamu mencuri maka kamu bukan istriku.”
v  Syarat al-muqtarin bi al-‘aqdi atau syarat muqayyad, yaitu syarat yang menyertai sebuah akad. Seperti seorang yang menjual rumah dengan syarat tinggal satu tahun.
3. Pencegah (Al-Mani’)
Definisi al-mani’ secara etimologi berarti “penghalang dari sesuatu”. Secara terminologi; sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya sesuatu sebab. Sebuah akad perkawinan yang sah karena telah mencukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab waris mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa terhalang di sebabkan suami misasnya membunuh istrinya.[15]
Macam-macam al-Mani’
Al-Mâni’ terbagi menjadi dua macam:
v  Mâni’ al-hukmi, yaitu al-mani’ yang dapat menghilangkan suatu hukum syariat. Seperti tidak berlakunya qishâsh bagi seorang ayah yang telah membunuh anaknya.
v  Mani’ al-sabab, yaitu al-mani’ yang dapat menghilangkan al-sabab yang telah memunculkan suatu hukum syariat. Seperti mengurangi nisab dalam zakat yang menjadi al-mâni’ dari kewajiban zakat.
4. Sah (Al-Shihhah)
As-sihhah adalah suatu hukum yang sesuai dengan ketentuan syari’ yaitu terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’. Misalnya, mengerjakan shalat duhur setelah tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudu (syarat), dan tidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya (tidak haid, nifas, dan sebagainya). Dalam hal ini, pekerjaan yang dilaksanakan itu hukumnya sah.[16]
Daripenjelasan di atas bahwa As-sihhah adalah apabila kita akan mengerjakan sesuatu dikatakan sah apabila sudah ada sebab dan syarat itu terpenuhi, dan tidak ada penghalang dari kedua hal tersebut.
5. Batal (al-Buthlan)
            al-Buthlan adalah sesuatu yang dilakukan atau hal yang diadakan oleh orang mukallaf yang tidak sesuai dengan tuntunan syara’ adalah tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum, baik tidak sahnya itu karena cacat pada rukun, maupun tidak terpenuhi syarat-syarat yang diperlukan dan baik dalam soal ibadah, maupun dalam soal mu’amalah. Maka atas dasar ini sebagian para ahli ushultidak membedakan antara pengertian Bathil dan Fasid.[17]
            Jadi al-Buthlan adalah sesuatu perbuatan yang tidak disyariatkan oleh Islam, oleh sebab itu segala perbuatan yang tidak disyariatkan Islam adalah batal, seperti halnya; Memperjualkan minuman keras, Narkoba. Akad ini dipandang batal , karena minuman keras dan narkoba tidak bernilai harta dalam pandangan syara. 
6. Al-‘Azimah
Secara etimologi ‘azimah berarti al-iradah al-muakkidah atau al-qashdu al-muakkid, yaitu keinginan yang kuat.akan tetapi Azimah dalam hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada hamba-hambanya sejak semula. [18] Jadi Azimah adalah peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah sejak dulu (asli) yang berlaku umum.
Adapun secara terminologi ‘azimah berarti hukum syariat bagi sorang mukallaf yang berlaku dalam segala situasi dan kondisi. Seperti kewajiban salat, zakat, puasa, dan lain-lain.
Misalnya bangkai, menurut aslinya, adalah haram dimakan oleh semua orang mukallaf . akan tetapi bagi orang yang dalam keadaan terpaksa, ia diperkenankan untuk memakannya, asal tidak berlebih-lebihan ataudengan maksud untuk menentang ketentuan Allah. Haram memakan bangkai itu azimah, sedangkan boleh memakan bangkai itu adalah rukhsah.
7. al-Rukhshah
Al-rukhsah ialah ketentuan yang disyaruatkan oleh Allah sebagai peringatan terhadap orang mukallaf dalam hal-hal yang khusus.[19] Secara etimologi rukhshah berarti al-suhulah dan al-yusru, atau al-tashil dan al-taisir yang berarti memudahkan atau meringankan. Adapun secara terminologi rukhshah adalah hukum syariat yang telah ditetapkan oleh Syari’ sebagai peringanan beban bagi seorang mukallaf dalam kondisi tertentu, atau hukum syariat yang ditetapkan karena adanya halangan atau masyaqqah dalam keadaan tertentu.
Macam-macam Rukhshah
v  Pembolehan sesuatu yang haram pada waktu darurat atau terpaksa. Seperti makan bangkai atau makanan yang diharamkan syariat ketika dalam keadaan sangat lapar, tidak ada makanan lain, dan takut akan kematian.
v  Pembolehan meninggalkan kewajiban. Seperti berbuka puasa bagi seorang musafir atau seorang yang sedang sakit di bulan ramadhan dikarenakan adanya masyaqqah.
v  Pembolehan suatu akad muamalat yang menjadi kebutuhan manusia. Seperti akad jual beli pemesanan. Pada dasarnya akad jual beli pemesanan tidak diperbolehkan, karena barang yang dibeli tidak ada ketika akad berlangsung. Syâri’ telah membolehkannya karena adanya kebutuhan manusia dan telah menjadi hukum kebiasaan yang telah berlaku.
Pembagian Rukhshah menurut Hanafiyyah
v  Rukhshah tarfih, yaitu rukhshah yang hukum aslinya (‘azimah) tetap berlaku dan mukallaf diberi kebebasan untuk mengambil rukhshah tersebut atau tetap melaksanakan hukum asli (‘azîmah). Seperti berbuka puasa bagi seorang musafir di bulan ramadhan. Jika musafir tersebut berbuka, maka ia telah mengambil rukhshah yang diberikan oleh Syâri’, namun ketika ia tetap berpuasa maka ia telah melaksanakan hukum asli (‘azîmah).
v  Rukhshah isqâth, yaitu rukhshah yang hukum aslinya (‘azîmah) hilang, karena kondisi yang memaksa harus adanya rukhshah. Seperti makan bangkai dalam keadaan darurat dan takut akan kematian.
C.   Penutup
Hukum wadh’ie yang telah ditetapkan oleh Syiri’ sebagai faktor keeksistensian sebuah hukum syariat bagi seorang mukallaf, haruslah sangat diperhatikan sebagaimana menyikapi hukum taklifie. Macam dan bagian serta ikhtilâf yang terjadi di kalangan para ulama dalam hukum tersebut yang telah dipaparkan oleh penulis, hanyalah sekedar sebagai pengantar studi saja, karena di sana masih banyak pembahasan yang tidak dapat dicantumkan dalam makalah yang sederhana ini mengingat situasi dan kondisi.
Hukum wadh’ie adalah implementasi dari hukum taklifie, jadai hukum wadh’ie ini lebih kepada masalah-masalah yang lebih khusus di banding dengan hukum taklifie. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat dengan hukum-hukum yang berada dalam hukum wadh’ie ini
Akhirnya semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis pribadi, dan jika ada kesalahan mohon kritikan agar kita semakin baik kedepannya, Amin yaa Raabal Alamin.